Rabu, 06 Juli 2022

BUKU GURU AGAMA KATOLIK KELAS 7

Berikut ini adalah beberapa link BUKU GURU AGAMA KATOLIK KELAS 7 



BAB 1  Manusia sebagai Citra Allah



BAB 2   Kemampuan dan Keterbatasanku



BAB 3   Manusia Berkembang Berkat Peran Sesama



BAB 4   Yesus Teladan Hidupku



BAB 5   Nilai-nilai Dasar Hidup Bersama




Senin, 10 Januari 2022

LITERASI DIGITAL AGAMA KATOLIK

Beberapa contoh link agama katolik yang bisa membantu kita dalam proses belajar dari berbagai sumber yang ada:



Beberapa contoh link agama katolik yang bisa membantu kita dalam proses belajar dari berbagai sumber yang ada:

Senin, 03 Januari 2022

BERSAHABAT

@slammy_widy Sahabat #kepompong #sahabat ♬ Kepompong - Sind3ntosca
  • Pertemanan merupakan pergaulan biasa antarsesama. Pertemanan yang biasa tersebut, jika dilakukan lebih intensif, akan dapat meningkat dalam relasinya menjadi persahabatan. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa relasi dengan teman tentu saja tidak sedalam relasi kita dengan sahabat.

  • Sahabat adalah teman yang selalu ada untuk mendampingi ketika kita sangat membutuhkan. Memberi penghiburan ketika kita dalam kesusahan. Tidak membiarkan ketika kita berbuat salah. Ia hadir untuk memberikan nasihat. Ia menunjukkan arah ketika kita tersesat. Dia bersedia menerima kita apa adanya, tidak pernah menuntut melebihi kemampuan kita. Singkatnya, seorang sahabat adalah seorang yang setia menemani kita dalam suka dan duka.
  • Ajaran Gereja selalu menunjukkan dan mengajarkan bagaimana menjadi orang Katolik yang setia pada sahabat. Salah satu tokoh yang menunjukkan persahabatan yang sejati adalah “Persahabatan Daud dan Yonatan” (1 Sam 18:1-4).
  • 1 Samuel 18:1-4: Ketika Daud habis berbicara dengan Saul, berpadulah jiwa Yonatan dengan jiwa Daud; dan Yonatan mengasihi dia seperti jiwanya sendiri. Pada hari itu Saul membawa dia dan tidak membiarkannya pulang ke rumah ayahnya. Yonatan mengikat perjanjian dengan Daud, karena ia mengasihi dia seperti dirinya sendiri. Yonatan menanggalkan jubah yang dipakainya, dan memberikannya kepada Daud, juga baju perangnya, sampai pedangnya, panahnya dan ikat pinggangnya.
  • Beberapa sikap Yonatan yang terpuji dalam bersahabat dengan Daud misalnya: Yonatan tidak merasa persahabatannya harus hancur gara-gara hubungan antara Daud sahabatnya dengan ayahnya tidak baik, ia memandang persahabatan tidak dapat dicampuradukkan dengan urusan keluarga, ia berupaya jujur terhadap Daud dengan berani mengatakan segala sesuatu agar sahabatnya selamat, termasuk keberanian menceritakan sikap ayahnya kepada sahabatnya itu, bahkan Yonatan rela menyerahkan baju perangnya, pedang, panah dan ikat pinggangnya kepada Daud, padahal Yonatan adalah Putra Mahkota dan Daud dapat menjadi saingannya dan musuh ayahnya.
  • Kisah persahabatan Daud dan Yonatan dapat menjadi gambaran tentang arti persahabatan yang sejati. Persahabatan yang sejati adalah persahabatan yang sungguh-sungguh berorientasi pada orang yang dikasihinya. Orientasi ini memampukan diri untuk berbuat tanpa pamrih, berani meninggalkan diri sendiri demi sahabat yang tidak hanya bersama kala suka, tetapi tetap hadir terutama saat duka menimpa, bahkan bila perlu ia berani berkorban segalanya demi sahabatnya.
  • Mempunyai sahabat adalah dambaan setiap orang, karena setiap orang adalah makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari orang lain yang senantiasa inginnya bahagia atau gembira bersama.
  • Sahabat adalah teman yang selalu ada untuk mendampingi ketika kita sangat membutuhkan.
  • Sahabat yang baik selalu memberi penghiburan ketika kita dalam kesusahan, hadir untuk memberikan nasihat, menunjukkan arah ketika kita tersesat, bersedia menerima kita apa adanya, dan tidak pernah menuntut melebihi kemampuan kita.
  • Beberapa sikap yang sering dapat menghacurkan persahabatan antara lain sebagai berikut: Egois atau mencari keuntungan sendiri, munafik atau sikap pura-pura, ketidakjujuran dan tidak setia.
  • Sebaliknya persahabatan yang baik akan menumbuhkan sikap: kasih cinta, terbuka, jujur, rela berkorban tanpa pamrih, saling memahami, setia dan tidak mencari keuntungan diri.

BERTEMAN

  • “Tak kenal maka tak sayang”. Artinya, seseorang yang hidup hendaknya berteman, berelasi pada sesamanya agar dapat saling mengerti dan memahami sehingga memungkinkan timbulnya rasa kasih sayang yang mendalam dan murni.


  •  

  • Berteman dapat diartikan sebagai hubungan atau relasi, dimana terjadi antara dua orang atau lebih, baik itu seorang anak laki-laki dengan lawan jenisnya maupun dengan sejenisnya yang mempunyai tujuan untuk bersosialisasi ataupun untuk mencapai sesuatu yang mau dicapai bersama.
  • Di dalam berteman kita dapat menemukan ciri-ciri nya yaitu: ada relasi/hubungan timbal balik di antara kita semua yang menjalin pertemanan. Hubungan pertemanan dapat sebatas pada teman sepermainan, berusaha tidak saling mengecewakan, teman belajar.
  • Dalam proses berteman itu, tidak semuanya dapat berjalan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan. Beberapa hal yang dapat menjadi hambatan dalam berteman antara lain: Egois, acuh tak acuh, munafik, kurang peka akan kebutuhan orang lain, pergaulan yang kurang luas, kurang mendapatkan perhatian sehingga tidak dapat memberi perhatian.
  • Ternyata untuk mengusahakan pertemanan yang indah, menggembirakan dan saling mengembangkan bukanlah hal yang mudah. Perlu ada usaha-usaha nyata untuk dapat menggapainya.
  • Santo Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Filipi (Fil 2:1-8) secara gamblang menjelaskan kepada kita tentang bagaimana hendaknya kita mengambil sikap dalam relasi/pertemanan dengan orang lain. “…hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia.” (Fil 2: 2). Demikian pula dalam ayat berikutnya, Santo Paulus tetap dan senantiasa menasihatkan agar dalam membangun relasi dengan sesama (berteman) hendaknya menempatkan orang lain yang utama dari pada kepentingan diri sendiri.
  • Berdasarkan nasihat Santo Paulus, sikap yang perlu diusahakan untuk dikembangkan agar pertemanan kita menjadi indah dan menggembirakan antara lain: sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia, dan juga dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.

Rabu, 29 Desember 2021

SAKRAMEN IMAMAT / TAHBISAN

Cara hidup berkeluarga bukanlah satu-satunya pilihan hidup. Walaupun di dalam masyarakat pada umumnya hidup dalam lembaga perkawinan yang lebih banyak dipilih.

Panggilan hidup bakti dan imamat/selibat merupakan panggilan hidup yang khas. Mereka memberikan hidup dan dirinya secara total kepada Tuhan untuk menjadi alat-Nya dan menjadi partner bagi Allah sendiri dalam mewartakan kerajaan Allah di dunia.
Seseorang berkenan untuk memenuhi panggilan-Nya untuk hidup selibat, bukan karena mereka tidak laku atau karena mereka tidak dapat berbuat apa-apa, melainkan karena kemauan sendiri demi kerajaan Allah. Seperti yang difirmankan dalam Matius 19:12; “…Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.” Jadi mereka memilih cara hidup sendiri dan tanpa paksaan tetapi atas kerelaan dan kesadarannya untuk melayani Tuhan secara penuh dalam hidup sebagai seorang imam.
Pilihan hidup imamat/selibat dipahami oleh Gereja Katolik sebagai panggilan Allah. Hidup imamat merupakan panggilan khusus. Panggilan khusus itu oleh Gereja Katolik dimeteraikan sebagai sakramen, yakni Sakramen Imamat yang disebut dengan Sakramen Tahbisan.
Dengan Sakramen Imamat/Tahbisan seseorang diangkat/diwisuda untuk menggembalakan Gereja dengan Sabda dan Roh Allah. Sakramen Tahbisan ini melantik seseorang untuk ikut serta dalam tugas perutusan Yesus Kristus.
Mereka diangkat dan diakui sebagai wakil Kristus. “Barangsiapa yang mendengar kamu, mendengar Aku” (Lukas 10: 16). Mereka bertindak atas nama Kristus untuk menghadirkan Ekaristi. Yesus pernah berkata, “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Lukas 22: 19).

Yesus juga mengutus orang-orang yang dipanggil-Nya secara khusus untuk membaptis semua orang yang percaya (lihat. Matius 28: 19-20), mengampuni dosa orang atas nama-Nya (lihat. Yohanes 20: 22), dan membangun umat beriman sebagai satu tubuh (lihat. Efi sus 4: 11-12).
Menjadi seorang imam adalah merupakan panggilan khusus, oleh karenanya untuk menjadi seorang imam pun ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi. Syarat untuk menjadi seorang imam antara lain:
  1. Seorang pria normal yang telah menerima inisiasi Katolik.
  2. Belum dan tidak akan beristri seumur hidup.
  3. Menyelesaikan pendidikan fi lsafat, teologi, moral, dan hukum Gereja, (pendidikan Seminari yaitu pendidikan bagi calon imam).
  4. Seseorang yang ingin menjadi imam harus sehat secara jasmani dan rohani.
  5. Mempunyai hidup rohani yang baik serta memiliki motivasi dan cita-cita yang kuat untuk menjadi imam.
Imam/Biarawan/Biarawati mengucapkan 3 kaul, yaitu Kaul Ketaatan, Kaul Kemiskinan, dan Kaul Kemurnian. Ketiga kaul ini diucapkan dan ditaati oleh para imam, biarawan/biarawati agar pelayanan yang dijalankan dapat dijalankan secara penuh dan secara total.
Para imam memiliki tugas pokok yaitu ikut ambil bagian dalam tri tugas Yesus sebagai raja, nabi, dan imam yaitu mengajar, menguduskan, dan memimpin. Hal ini diungkap dalam KHK Kanon 1008 yang berbunyi: ”Dengan sakramen imamat yang diadakan oleh penetapan Ilahi, seorang beriman diangkat menjadi pelayan-pelayan rohani dengan ditandai oleh materai yang tak terhapuskan, yakni dikuduskan dan ditugaskan untuk selaku pribadi Kristus Sang Kepala, menurut tingkatan masing-masing, menggembalakan umat Allah dengan melaksanakan tugas mengajar, menguduskan dan memimpin.”

SAKRAMEN PERKAWINAN

Setiap manusia, tentunya senantiasa mengharapkan masa depan yang baik. Ada banyak tawaran dan harapan yang dapat digapai demi masa depan kita. Salah satu dari tawaran dan bentuk kehidupan/panggilan masa depan itu adalah hidup berkeluarga.

Panggilan hidup berkeluarga merupakan salah satu bentuk keikutsertaan manusia dalam karya Allah. Allah memanggil manusia untuk ikut serta dalam karya pewartaannya untuk mewartakan kerajaan Allah dan ikut serta dalam pemeliharaan alam ciptaan-Nya. Setiap manusia yang hidup di dunia ini dipanggil oleh Allah untuk ikut serta dalam karya tersebut.

 
Panggilan hidup berkeluarga sering kita sebut dengan perkawinan. Perkawinan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keduanya. Namun demikian dalam masyarakat kita ada beberapa pandangan tentang perkawinan, misalnya:
1) Ada orang yang memandang bahwa perkawinan sebagai kontrak atau perjanjian.
2) Ada juga pandangan yang hanya menekankan perkawinan dari segi tujuannya hanya untuk mendapatkan anak atau keturunan, sehingga jika sulit mendapatkan keturunan maka perkawinan dapat diceraikan.
3) Ada juga yang menghubungkan perkawinan sebagai usaha untuk memperoleh status, harta warisan, kekuasaan, dan sebagainya. Pandangan-pandangan tentang perkawinan tersebut akan menentukan penghayatan hidup perkawinan itu sendiri.
Dalam Gereja Katolik dasar perkawinan adalah cinta di antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang mengikat janji dalam sebuah perkawinan.

Gereja Katolik memandang dan memahami bahwa hidup berkeluarga itu sungguh suci dan bernilai luhur, karena keluarga merupakan “Persekutuan hidup dan kasih suami istri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta, dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dan dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Hal ini terungkap dalam dokumen Gereja yaitu dalam Gaudium et Spes artikel 48; “Demikianlah karena tindakan manusia yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami istri, timbullah suatu lembaga yang mendapat keteguhannya juga bagi masyarakat berdasarkan ketetapan Ilahi”.
Dalam iman Kristiani, perkawinan dipandang sebagai Sakramen. Perkawinan tidak hanya menyangkut hubungan antara pria dan wanita, tetapi adanya keterlibatan Tuhan di dalamnya. Oleh karena itu, perkawinan dalam Gereja Katolik memiliki nilai yang luhur.
Dengan demikian berarti pula bahwa panggilan hidup berkeluarga juga memiliki nilai yang luhur, sebab dari perkawinan itu sendiri yang juga luhur. Perkawinan dalam Gereja Katolik disebut sebagai Sakramen karena melambangkan hubungan antara Kristus dan Gereja-Nya (lihat Efesus 5: 22-33). Mereka akan hidup sebagai suatu persekutuan seperti halnya hidup Gereja sebagai persekutuan.
Mereka adalah Gereja mini. Sebagai persekutuan, mereka bukan lagi dua tetapi satu daging (lihat Kejadian 2: 24). Dengan hidup sebagai persekutuan yang didasarkan kasih itulah, maka perkawinan memperlihatkan dan melambangkan kasih Allah kepada manusia dan kasih Yesus kepada Gereja-Nya.
Perkawinan Katolik hakikatnya monogam dan tak terceraikan. “Ciri-ciri hakiki perkawinan ialah kesatuan dan sifat tak dapat diputuskan, yang dalam perkawinan Kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen. (KHK Kan. 1056).
Dalam perkawinan Kristiani tidak dikenal adanya perceraian. Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (lihat Markus 10: 9). Selain tidak terceraikan, perkawinan Kristiani bersifat monogam. Cinta antara seorang suami dan seorang istri bersifat total atau tak terbagikan. Seorang suami harus mengasihi istrinya seperti tubuhnya sendiri (lihat Efesus 5: 28). Demikian juga, istri terhadap suaminya.
Adapun tujuan perkawinan Katolik adalah kebahagiaan suami-istri sebagai pasangan, keturunan atau kelahiran anak, pendidikan anak, dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena, tiadanya anak/keturunan bukan menjadi alasan untuk terjadinya perceraian.

CITA-CITA DEMI MENGGAPAI MASA DEPAN

Cita-cita merupakan keinginan atau kehendak yang akan kita wujud nyatakan, suatu keinginan yang akan kita tuju, ataupun juga dapat kita sebut sebagai suatu harapan yang senantiasa kita perjuangkan untuk kita dapatkan.

Cita-cita yang telah dicanangkan dan ingin digapai akan mempengaruhi seluruh proses persiapan yang harus dijalani guna menggapai cita cita tersebut. Orang yang memiliki cita-cita yang tinggi tentunya memerlukan persiapan dan usaha yang keras pula untuk dapat menggapainya.
Cita-cita penting untuk kita canangkan, sebab dengan cita-cita yang telah kita tentukan akan menjadikan kita mempunyai harapan dan tujuan dalam hidup kita. Pentingnya/manfaat memiliki cita-cita antara lain:
  1. Cita-cita dapat kita jadikan sebagai arah hidup. Dengan memiliki arah hidup yang jelas maka segala daya upaya yang kita lakukan saat ini selama proses belajar dan persiapan menggapai masa depan, diarahkan untuk menuju pada pencapaian dari cita-cita kita. Sebaliknya seseorang yang tidak memiliki cita-cita, akan cenderung arah hidupnya tidak jelas; mau menjadi apa kelak, akan seperti apa masa depan yang dibangunnya juga menjadi tidak jelas.
  2. Cita-cita mempengaruhi pola pikir dan sikap. Cita-cita yang telah kita canangkan, akan menjadikan pola pikir dan sikap kita senantiasa tertuju pada pencapaian dari cita-cita itu sendiri. Cita-cita bahkan dapat mengubah ataupun mempengaruhi segala pola pikir kita maupun sikap kita mulai saat ini, walaupun terpenuhinya cita-cita itu masih lama.
Dalam menentukan cita-cita tentunya kita tidak asal-asalan saja tetapi perlu mempertimbangkan beberapa hal, misalnya:
1) Mengukur kemampuan kita. Kita harus mengetahui segala kelebihan dan kekurangan kita, sehingga cita-cita yang kita canangkan sesuai dengan kemampuan dan talenta yang kita miliki, dengan demikian akan memudahkan kita dalam mengusahakan perencanaan dan persiapan, sebab sudah sesuai dengan kemampuan dan talenta kita.
2) Bersikap realistis. Kita perlu bersikap realistis terhadap keadaan dan kemampuan ekonomi yang kita miliki.
3) Selalu siap untuk berubah. Cita-cita yang kita canangkan saat ini, dapat saja dalam perjalanan mengalami perubahan. Kita harus siap untuk adanya perubahan tersebut jika memang situasi dan keadaannya menuntut semua itu.
4) Siap untuk bekerja keras dan tidak mudah putus asa.

Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi (Flp 3: 14) mengatakan, bahwa ia “berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.” Itulah yang menjadi tujuan akhir dari segala kegiatan yang kita lakukan, termasuk juga dalam memperjuangkan cita-cita. Dari sini kita dapat melihat bahwa Kitab Suci memberikan gambaran bahwa setiap orang hendaknya memiliki cita-cita dan berusaha berjuang (berlari-lari) untuk menggapainya. Paulus menyampaikan bahwa cita-cita akhir dari hidup manusia ialah memperoleh panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.

BUKU GURU AGAMA KATOLIK KELAS 7

Berikut ini adalah beberapa link BUKU GURU AGAMA KATOLIK KELAS 7  BAB 1   Manusia sebagai Citra Allah BAB 2    Kemampuan dan Keterbatasanku ...